Politik Indonesia hari ini
sedang menjalani tradisi baru. Agak sedikit modern dan ilmiah lah. Para pelakunya
mulai menerapkan sistematika logis guna mencapai kekuasaan, meskipun masih ada
sebagian yang tetap memercayai dan mempraktikkan unsur-unsur klenik.
Tradisi baru itu adalah
hadirnya sejumlah lembaga survei yang pada dasarnya melakukan dua hal pokok: memprediksi
hasil pemilu melalui metode hitung cepat (quick
qount), dan menakar kadar keterpilihan (elektabilitas) partai ataupun tokoh
politik tertentu.
Jika dirunut ke belakang,
sebetulnya kehadiran lembaga-lembaga survei semacam itu bukanlah hal yang baru-baru
amat di negeri kita. Mengutip dari sinarharapan.co,
pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah,
Jakarta, Gun Gun Heryanto menjelaskan bahwa ada tiga fase hadirnya lembaga
survei di Indonesia.
Fase pertama di masa Orde
Baru, masa di mana segala hal –termasuk informasi– masih bersifat sentralistik.
Pada tahun 1968, Departemen Penerangan mendirikan Lembaga Pers dan Pendapat
Umum Djakarta. Kerja lembaga ini adalah melakukan riset hasil pemilu 1971.
Fase kedua pasca-runtuhnya Orde
Baru. Di fase ini sejumlah lembaga survei bermunculan dan melakukan riset
secara mandiri seperti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES), juga International Foundation for Election Systems (IFES).
Fase ketiga menjelang pemilu tahun
2004. Di masa ini lembaga survei semakin banyak bermunculan, di antaranya
Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang oleh Susilo Bambang Yudhoyono disebut
lembaga kredibel (Jawa Pos 28 Juli 2004).
Setelah melewati tiga fase
itu, keberadaan lembaga survei makin ke sini makin signifikan. Malah, agak
kebablasan menurut hemat saya. Kenapa kebablasan?
Pertama, para pelaku survei
mulai melakukan berbagai macam modifikasi terkait hasil surveinya. Lantas,
hasil survei itu banyak diburu oleh media massa untuk melegitimasi data; sebagai
nara sumber pembanding, atau bahkan sebagai sumber referensi yang dianggap mampu
membuat berita semakin “seksi”.
Kondisi seperti itu ibarat produsen
dan distributor yang sedang mencari agen dan pasar, lalu tiba-tiba datanglah
pembeli. Klop. Kemudian terjadilah transaksi.
Menjadi kebablasan ketika
modifikasi hasil survei itu sudah tak lagi memotret fakta. Atau, survei
dikerjakan dengan metodologi yang diarah-arahkan, bukan metodologi yang mengacu
pada apa yang disepakati oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) tentang
etika dan metodologi baku.
AROPI dulu pernah mengajukan uji
materi (judicial review) terhadap UU
No. 10 Tahun 2008 tentang pileg yang salah satu pasalnya melarang pengumuman
hasil hitung cepat pada hari pemungutan suara. Uji materi itu dikabulkan
Mahkamah Konstitusi (MK).
Lihatlah yang terjadi hari
ini. Tiga jam setelah waktu pencoblosan pilpres ditutup, masing-masing kubu mendeklarasikan
diri sebagai pemenang. Mereka berpedoman pada hasil hitung cepat beberapa
lembaga survei. Angka-angka yang dipaparkan relatif sama, antara 52 dan 48
persen. Yang berbeda adalah ketika kita lihat angka itu di TVOne, maka angka 52%
milik Prabowo-Hatta. Sementara, jika kita saksikan di Metro TV, angka 52% menjadi
milik Jokowi-Kalla. Inilah kebablasan yang saya maksud. Bila sudah begini,
pengumuman resmi real count KPU 22
Juli nanti terasa lama sekali.
Semoga dalam masa menunggu itu
tidak terjadi gesekan-gesekan di akar rumput. Dan mereka para capres-cawapres
beserta tim penggembiranya masing-masing punya waktu ekstra untuk kembali
merenungi hakikat jabatan yang tak lebih dari sekadar amanah, sebuah hutang,
sebuah janji yang harus ditepati. Bukan semata-mata sebuah posisi yang untuk
meraihnya harus sikut kanan sikut kiri. Semoga kita semua tercerahkan. (BHY)
0 comments :
Post a Comment