Download Film, MP3, Sofware, Ebook, Gratis, Cerita Lucu,/h1>

SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI. BLOG INI TEMPAT CURHAT YANG KREATIF, IMAJINATIF, SEKALIGUS INOVATIF. FUNGSINYA BISA MACAM-MACAM. TERUTAMA SEKALI ADALAH SEBAGAI MEDIA UNTUK BELAJAR. BELAJAR MENULIS, BELAJAR UNTUK PEKA. PEKA PADA DIRI DAN SEKITAR KITA. PUNYA KRITIK DAN SARAN, SILAKAN KIRIM VIA EMAIL KE: banggaheriyanto@gmail.com

Wednesday 16 April 2014

Finally There

Salah satu destinasi wisata ziarah bersama para kyai dari PCNU Karawang tahun 2013 kemarin adalah–tentu saja–menziarahi makam Gus Dur. Bagi kami kaum Nahdliyyin, Gus Dur tokoh istimewa. Bahkan di tengah perjalanan sering terlontar gurauan bahwa, “Jumlah Walisongo bukan sembilan lagi, tetapi sepuluh ditambah Gus Dur”.

Ya. Gus Dur memang istimewa. Namun, tulisan ini bukan membahas Gus Dur. Tak layak rasanya saya si hina-dina ini menulis sesuatu tentang beliau. Saya cuma mau cerita sedikit tentang Tebuireng dulu yang saya tahu, dan yang kini saya alami.

Ketika tahu bahwa menziarahi makam Gus Dur adalah tujuan berikutnya, wah… hati saya girang bukan kepalang. Hampir dua puluh tahun lamanya sejak terakhir saya melangkahkan kaki di gerbang depan Tebuireng yang legendaris itu.

Gerbang yang dulu selalu kami lewati tiap pagi berangkat sekolah. Malam harinya, tiap usai jam belajar, ribuan dari kami melewati gerbang yang sama. Memburu gerai-gerai makanan yang berjejer di pinggir jalan. Ah… sungguh sebuah suasana yang kami rela melakukan apa saja untuk dapat kembali mengulangnya.

Saya akan mengulas satu per satu suasana itu melalui tulisan berantai edisi Wisata Ziarah ini. Mencoba mereka-reka cerita melalui penggalan-penggalan rasa yang tersisa. Barangkali ia dapat membangkitkan kenangan itu secara utuh. Barangkali juga tidak. Tapi setidaknya saya sudah mencoba.

Kami tiba di Kota Jombang sekitar pukul 02.00 dinihari, setelah sore hari sebelumnya menziarahi makam syaikhuna Kyai Kholil di Bangkalan, Madura. Dari pusat Kota Jombang, butuh waktu kurang-lebih tiga puluh menit untuk tiba di lokasi Pondok Pesantren Tebuireng.

Pemandangan Kota Jombang dinihari itu belum dapat membangkitkan memori saya. Di sisi kanan-kiri jalan yang kami lalui hanya tampak gelap. Namun, begitu tiba di persimpangan jalur selatan Jombang-Malang, persis di sisi timur stasiun kereta api Jombang, perlahan-lahan kenangan itu hadir.

Stasiun itulah yang dulu menjadi tempat tiba dan berangkat sebagian besar kami para santri dari luar kota. Banyak cerita tersendiri tentang stasiun ini, dan nostalgia perjalanan di kereta api tentunya. Insya Allah saya akan mengulasnya dalam tulisan khusus.

Penggalan kenangan itu mulai utuh ketika kami masuk ke wilayah kecamatan Diwek. Ada beberapa bagiannya yang masih saya kenal. Terutama beberapa perkebunan tebu, lapangan sepak bola, dan sungai kecil dan parit di sisi kanan jalan.

Dua ratus meter menjelang Ponpes Tebuireng, hanya tersisa sedikit penanda yang mampu saya kenali. Sisanya adalah bangunan dan penanda-penanda baru. Satu kata yang keluar dari mulut saya ketika kami akhirnya benar-benar tiba di sana: subhanallah… sudah banyak perubahan. Dan Gus Dur memberi andil yang tidak sedikit dalam perubahan itu. (bersambung ke tulisan ‘Aroma Tebu di Mana-mana’)

0 comments :

Post a Comment