9 April sampai 9 Juli 2014 mungkin merupakan rentang waktu paling ramai di panggung politik negeri ini. Ada banyak cerita yang dipentaskan. Ada drama yang bahagia, ada juga yang mengharu-biru.
Yuk kita mulai dari cerita yang bahagia. Tapi sebelumnya, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tak memihak faksi politik manapun. Biarlah keberpihakan politik saya hanya tampak di bilik suara. Saya menulis sebagai rakyat biasa yang hak-hak politik dan kebebasan menyuarakan pendapatnya dilindungi oleh Konstitusi.
Cerita bahagianya adalah pileg 9 April kemarin berlalu aman-aman saja, meski banyak catatan di sana-sini. Tidak ada konflik horizontal yang cukup berarti, meski sekitar 792 berkas perkara keberatan hasil pileg menumpuk di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selebihnya adalah cerita yang mengundang tawa, membuat kening berkerut, dan hati miris. Semuanya dipertontonkan secara terbuka ke ruang keluarga kita, melalui beberapa media massa yang independensinya layak dipertanyakan kembali.
Sementara cerita mirisnya adalah imbas dari mengerucutnya bursa capres-cawapres yang hanya menjadi dua poros: poros Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.
Proses pengerucutannya sungguh berliku. Seperti menelusuri jalur labirin yang ujungnya tak mudah diterka. Kalau dalam bahasa pengamat politik dikenal dengan istilah "proses yang sangat cair".
Selama proses itu kita saksikan semua tokoh politik saling berbalas kunjungan. Komunikasi menjadi sangat intens. Dan, ide Aristoteles tentang 'zoon politicon' menjadi aktual kembali. Cuma beda motif, barangkali.
Dan rangkaian pemilu 2014 ini tampaknya belum juga menjadi momentum kebangkitan bangsa seperti yang dicita-citakan sebelumnya. Tokoh-tokoh muda progresif, berkarakter, cerdas dan visioner seperti Dahlan Iskan, Mahfud MD, Anies Baswedan, Gita Wiryawan, harus tenggelam di pusaran pekat politik bangsa. Alasanya tak lain dan tak bukan adalah jegalan pragmatisme.
Cerita mirisnya adalah betapa naifnya kita sebagai warga negara biasa yang mendambakan pemimpin-pemimpin andal dan jujur, tetapi di saat yang sama para "aktor" itu hanya mempertontonkan pragmatisme belaka. Dan cita-cita tentang kesejahteraan bangsa hanya indah di atas kertas saja. (BHR)
0 comments :
Post a Comment