Empat hari yang lalu, saya
merampungkan sebuah pelatihan yang sangat diidam-idamkan oleh banyak guru non
PNS di negeri ini. Nama pelatihan itu adalah Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru, disingkat jadi PLPG. Seluruh guru di seantero negeri ini pasti familiar
dengan singkatan itu.
Selama sepuluh hari, 5 sampai 14
September 2014, saya dan 266 rekan guru mapel IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Ekonomi tingkat MTs dan MA dari Bekasi, Depok, Bogor, Cianjur,
Sukabumi, dan Karawang, mengikuti PLPG Kementerian Agama, Rayon 135 Universitas
Pakuan, Bogor. Pelatihan berlangsung di Hotel Mars 91, Cipayung, Bogor.
Banyak hal yang saya dapatkan
dari pelatihan itu, salah satunya adalah jawaban kenapa PLPG begitu
dinanti-nanti dan diharap-harap oleh sebagian besar guru di republik ini.
Pasal 16 ayat (1) Undang-undang
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa Pemerintah memberikan
tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Nominal
tunjangan profesi itu diatur oleh ayat (2) pasal tersebut, yakni “… setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa
kerja, dan kualifikasi yang sama.”
Meski demikian, tidak semua
guru bisa mendapatkan tunjangan profesi itu. Ada syarat-syarat administratif
yang harus dipenuhi, seperti harus lulusan S1, masa kerja minimal lima tahun;
dan syarat-syarat yang menjelaskan bahwa guru bersangkutan memang profesional
di bidangnya. Syarat yang terakhir ini dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat
pendidik yang dirilis lembaga-lembaga (universitas) yang ditunjuk oleh
masing-masing institusi yang menaungi.
Nah, demi sertifikat pendidik
inilah sebetulnya PLPG diselenggarakan. Selembar sertifikat yang menyatakan
bahwa kami adalah guru profesional. Untuk itu, selama pelatihan kami dibekali keterampilan
menyusun administrasi pembelajaran seperti RPP, PTK, KKO, rubrik penilaian, metode
dan model pembelajaran, lembar observasi, oleh para instruktur yang rata-rata
bergelar master dari Universitas Pakuan, Bogor.
Sebuah kesempatan yang amat
berharga. Namun, tidak semua peserta diklat memiliki pandangan yang sama. Dari
sepuluh peserta, barangkali hanya dua peserta yang menganggap PLPG ini sebagai
momen untuk mengatrol daya profesionalitas keguruan mereka. Sisanya, masih
menganggap momen PLPG hanya sebatas “pintu gerbang” untuk mendapatkan tunjangan
profesi tadi. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Guru memang harus sejahtera
supaya mampu menjalankan tugas dengan maksimal. Tapi, ketika kami diingatkan
oleh seorang instruktur tentang sumber dana tunjangan profesi itu, dan beliau
mengaitkannya dengan problem pemerataan fasilitas pendidikan di pelosok negeri
ini, maka berat rasanya untuk mengabaikan betapa momen PLPG ini amat berharga.
Untuk tidak mengabaikan momen
berharga itu, usai menjalani diklat, paling tidak ada beberapa pengetahuan baru
yang bisa kami bawa dan terapkan di institusi pendidikan yang mensponsori kami.
Jika belum mampu menyusun RPP dan PTK, minimal kami bisa menerapkan beberap ice breaker yang pernah diperagakan para
instruktur yang keren dan pintar-pintar itu, agar PLPG ini tak berubah makna
menjadi “pergi langsing pulang gemuk”. Masalah tunjangan profesi, anggaplah itu
bagian dari misteri rejeki yang sudah diatur oleh Sang Maha Adil: tidak akan
datang jika memang belum waktunya, tidak akan tertukar bila memang sudah
ditetapkan porsinya. Yuk, kita percaya saja. (BHY)
0 comments :
Post a Comment